Senin, 29 Desember 2008

REFORMA AGRARIA, KEBUTUHAN YANG MENDESAK



Isu landreform akhir-akhir ini menguat kembali, setelah rezim saat ini mempunyai rencana melaksanakan reformasi agraria secara bertahap mulai tahun 2007 sampai 2014 dengan pembagian tanah untuk rakyat miskin dan pengusaha seluas 8,15 juta ha (Kompas,13/12/2006). Di pelaksanaan istilah Landreform sering dipadankan dengan agrarian reform atau reforma agraria. Menurut Gunawan Wiradi(2000), istilah landreform atau redistributive land reform mengandung pengertian sebagai penataan kembali sebaran penguasaan tanah yang mencakup dua aspek yaitu tenure reform dan tenancy reform . Aspek pertama adalah dengan redistribusi lahan sedangkan aspek kedua berarti perbaikan dalam hal sewa, bagi hasil, gadai dll. Dalam perkembanganya land reform memperoleh konseptualisasi baru yang lebih luas sehingga secara popular diberi pengertian sama dengan istilah agrarian reform.

Memang sungguh aneh, negeri yang kaya akan sumber agraria ; tanahnya subur, lautnya penuh dengan beragam flora/fauna, kandungan buminya penuh dengan aneka bahan-bahan tambang dan wilayah udaranya yang luas. Justru sampai saat ini, rakyatnya banyak yang dihantui oleh penyakit busung lapar, kurang gizi dan kantong-kantong kemiskinan yang banyak tersebar di pelosok-pelosok pedesaan. Itu artinya rakyat negeri ini yang mayoritas kaum tani belum pernah merasakan nikmatnya arti kemerdekaan sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaan politiknya dari kekuasaan kolonial, karena secara ekonomi kaum tani kondisinya masih tetap dan jauh dari kategori sejahtera.

Era Kolonial

Bicara tentang landreform tidak lepas dengan politik agraria masa kolonial, sejak saat Raffles (1811-1816) dengan teori Domein-nya, yang menganggap bahwa semua tanah adalah milik raja atau pemerintah. Maka setiap petani diwajibkan membayar pajak sebesar 2/5 dari hasil tanah garapannya. Teori Raffles ini dipakai juga sebagai dasar pada zaman Van den Bosch dengan Cultuurstelsel-nya (sistem tanam paksa). Dengan menganggap semua tanah milik pemerintah kolonial maka para kepala desa dianggap menyewa kepada pemerintah, dan kepala desa meminjamkan kepada petani. Sehingga petani tidak membayar pajak 2/5, melainkan 1/5 dari tanahnya harus ditanami dengan tanaman yang ditentukan oleh pemerintah seperti kopi, tebu, tembakau dll. Serta wajib disetorkan kepada pemerintah.

Melimpahnya kekayaan hasil politik tanam paksa belanda, menimbulkan keinginan kaum pemilik modal swasta untuk ikut menikmati hasil tanah jajahan. Maka terjadilah pergulatan di parlemen Belanda antara kubu liberal terhadap kubu kerajaan. Sehingga pada tahun 1870 muncullah Agrarisch Wet, pernyataan penting didalamnya terkenal dengan Domein Verklaring, yakni : …semua tanah yang tidak terbukti bahwa atas tanah itu ada hak milik –mutlak (eigendom), adalah domein Negara atau milik mutlaknya Negara.”

Dengan adanya agrarisch wet ini, maka modal swasta mulai membanjiri Hindia Belanda dan perkebunan-perkebunan swasta besar bermunculan terutama di Jawa dan Sumatra. Dengan akibat banyaknya tanah-tanah petani yang dirampas dan menumpuknya petani miskin sehingga menjadi sasaran buruh murah di pabrik dan perkebunan.

Era Kemerdekaan

Sejak merdeka 1945, telah disadari bahwa masalah utama yang harus segera dibenahi adalah masalah agraria, sehingga mulai 1948 telah dibentuk panitia agraria di Yogyakarta. Setelah melewati diskusi panjang di parlemen, setelah diterima dan sahkan oleh DPR-GR, akhirnya pada tanggal 24 September 1960 UUPA diundangkan. UUPA 1960 diikuti oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 56 tahun 1960 atau yang dikenal dengan Undang-undang Landreform) dengan lahirnya Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, lebih dikenal UUPA. Undang-undang ini seperti dikatakan oleh Bung karno lahir dari pembacaan yang tajam atas dua musuh utama yaitu Imperalisme dan Feodalisme. Pada tahun 17/8/1964 dikatakan dalam Tahun Vivere Pericoloso : “ Kedudukan petani sebagai soko guru mengalami penghisapan double yaitu penghisapan dari feodalisme dan penghisapan dari kapitalisme!’. Disini jelas bahwa program Landreform harus dijalankan untuk menghancurkan kekuatan feodalisme dan imperilisme. UUPA juga memandatkan satu pokok soal yang maha penting bagi negara agraris seperti Indonesia, yakni dalam rumusan pasal 10 ayat 1 yaitu : “Tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri.”

Pada era rezim soeharto, landreform secara sepihak dibekukan oleh penguasa dengan anggapan landreform sebagai programnya kaum komunis. Dan sebaliknya, pada tahun 1967 dengan program politik agraria pintu terbukanya melalui Undang –Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) soeharto mengundang para pemodal asing ke Indonesia, ini sama saja dengan mengundang imperialisme kembali lagi datang, tapi dengan wajah yang baru, yaitu investasi. Dengan bantuan dari para agen-agennya di Indonesia para pemodal ini semakin dalam mencengkeramkan ekonomi Indonesia. Bahkan hampir bersamaan, dengan politik pangannya soeharto meluncurkan program Revolusi Hijau, program inilah yang semakin membuat rakyat tani terbenam dalam kubangan kemiskinan. System perekonomian yang kapitalistik yang menjadikan petani sebagai obyek penghisapan, sehingga petani tercerabut dari akarnya dan hanya menggeluti situasi yang pas-pasan yang digambarkan oleh James C Scott : “ Situasinya seperti orang terendam dalam air setinggi bibir, riak gelombang paling kecilpun bisa membinasakannya.”

Demi sebuah pembangunanisme(developmentalisme) telah terjadi proses okupasi lebih tepatnya perampasan tanah-tanah petani oleh kaum pemodal dengan didukung oleh instansi sipil dan militer. Sasarannya adalah merampas kembali tanah obyek landreform tahun 1960 yang telah dibagikan kepada penggarap dan tanah-tanah adat yang telah dikelola secara komunal.

Pentingnya Reforma Agraria

Digagalkanya program landreform dan digantikannya politik agraria yang bias kepentingan modal terbukti membuat fondasi perekonomian nasional kita menjadi rapuh. Sector industri manufaktur yang dibanggakan mengalami keruntuhan karena tidak didasarkan pada struktur ekonomi dan permodalan yang sehat. Sebaliknya, sector pertanian yang selama ini dikebiri justru menjadi penyelamat sewaktu krisis ekonomi.

Gerakan Reforma agraria timbul akibat adanya ketidakadilan sosial dalam masyarakat pertanian. Reforma agraria yang didalamnya mencakup landreform dapat menjadi sarana untuk meningkatkan produktivitas pertanian melalui rasio lahan dan tenaga kerja. Manfaat tehnologi modern dapat menunjang profuktivitas bila ada pengusahaan lahan per satuan tenaga kerja. Maka konsentrasi penguasaan tanah harus dicegah. Dengan adanya reforma agraria ini tidak sekedar pembagian tanah semata, setelah dilakukan landreform harus ditindaklanjuti dengan program penyediaan kredit, pendidikan dan latihan, penyuluhan, tehnologi dan penyesuaian struktur pasar.

Seperti dibahas di Musyawarah Konsorsium Pembaharuan Agraria tahun 2005.setidaknya ada lima dampak yang menggandakan (multiplier effect) dari pelaksanaan landreform ini yang pada akhirnya mengantarkan pada transisi menuju industrialisasi yang berkelanjutan.

1. Program landreform akan menciptakan pasar atau daya beli. Melalui pemeratan tanah. Maka tercipta kekuatan daya beli yang artinya juga kekuatan pasar sehingga produksi akan berkembang luas.

2. Petani dengan asset tanah yang terjamin akan mampu menciptakan kesejahteraan bagi keluarganya dan menghasilkan surplus untuk ditabung. Sehingga merangsang pembangunan unit-unit usaha lainnya.

3. Berkembangnya ekonomi pedesaan akibat kinerja pertanian yang baik maka pajak di bidang pertanian akan meningkat.

4. Pelaksanaan landreform akan memungkinkan terjadinya proses diferensiasi yang meluas dari pembagian kerja di pedesaan yang tumbuh karena kebutuhan pedesaan itu sendiri.

5. Tanpa landreform tidak akan terjadi investasi di dalam pertanian oleh petani sendiri. Malahan akan terjadi disinvestasi karena banyak petani kehilangan tanah dan kemiskinan makin meluas.akibatnya sector industri kecil dan rumah tangga, perdagangan, jasa dan sirkulasi uang di pedesaan akan melemah dan hanya bisa bergantung dari intervensi modal dari kota. Akibatnya pedesaan akhirnya menjadi sumber pemerasan kota karena desa tunduk pada kepentingan kota.

Landreform adalah prakondisi untuk memasuki sistem ekonomi modern yang berkeadilan Maka pelaksanaan Reforma agraria langkah awal yang harus dilakukan adalah landreform, refoma agraria tanpa landreform sama artinya dengan Revolusi Hijau Jilid ke-2.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar